Senin, 09 Maret 2015

JATUH KI(CIN)TA

Saat aku menulis ini aku sedang menggenggam
hatiku demikian eratnya. Aku takut hatiku
melompat dan tak bisa kembali ke tempat
asalnya. Debaran yang mengumpat namamu tak
berhenti sedari tadi. Memberikan sesak yang
terlalu pasti untuk kuingkari.
Tak pernah kurasakan cinta yang sebesar ini.
Terlalu besar untuk mampu kusimpan sendiri.
Terlalu sakti dengan hanya kudiamkan dan
perlahan mati disapu angin. Pernahkah
kaurasakan getar-getar yang menjalari
tubuhmu di seluruh penjuru raga. Hatimu
penuh, isi kepalamu berputar-putar memainkan
harmoni cinta yang sangat kautahu, lidahmu
ingin meneriakkan satu nama. Suaramu ingin
menjeritkan kebahagiaan yang tak mampu
ditolak semesta. Sementara senyummu tak
berhenti melengkuh dan membuat bibirmu kebas
dalam rasa yang tak mau kaukikis habis. Dan
sepasang matamu mengalirkan air mata yang
kaurindukan. Karena bertahun-tahun hilang
diredam harapan yang patah arang.
Semua itu terjadi tidak dalam satu tepukan.
Ada bulan-bulan yang panjang tempatku
menyembuhkan lara. Ada kau yang menungguku
di bawah pohon teduh bernama kesabaran.
Pelukanmu mengerat. Air
mataku tumpah dan menjadikanku si lemah
yang bahagia karena diselamatkan cinta yang
selama ini kutunggu.
Aku tak pernah segila ini. Aku tak pernah
sewaras ini. Aku tak pernah gila dan waras
secara bersamaan seperti hari ini. Kau adalah
gila yang kucandu. Kau adalah waras yang
memang semestinya begitu. Dan sekarang, saat
hatiku masih bergejolak ingin lompat dari
tempatnya, bahagiaku mengalir pada hatimu.
Pada genggam tanganmu tempatku melebur
aman.
Aku tak pernah sejatuh ini. Aku tak pernah
sekuat ini. Aku tak pernah menginginkan diriku
seluar biasa ini. Dan sayang, jika benar cinta
sungguh menggilakan izinkan aku tinggal. Jika
kata mereka cinta membuatku tersesat,
jelaskan pada dunia bahwa kini aku tak lagi
ingin diselamatkan.

#DSN

Senin, 02 Maret 2015

Dunia nyata vs Dunia maya

Saya, sebagai orang yang hidup dan
bergaul dari zaman belum ada
internet, belum ada wifi, dan masih
banyak T-rex yang memangsa manusia,
hingga zaman yang didominasi oleh
internet, merasakan perbedaan
kualitas pertemanan. Sadar atau
tidak, teknologi sudah membuat kita
semakin merasa kesepian. Bisa kita
compare zaman teknologi masih
seadanya dan zaman sekarang deh.
Dulu, ada sebuah ruangan di dalam
rumah yang sebutannya ruang
keluarga. Kenapa? Karena di ruangan
itu biasanya sekeluarga ngumpul
bersama, nonton satu TV, dan kadang
anak-anaknya saling bacok-bacokan
buat rebutan remote TV. Tapi dengan
kemajuan teknologi seperti sekarang,
ruang keluarga jarang terisi. Ortu
nonton TV di kamar, anak-anak main
gadget di kamar masing-masing.
Ruang keluarga? Dipake pembantu
nonton acara goyang-goyang dumang.
Di zaman serba internet ini, ada
sebuah aplikasi yang mempermudah
manusia untuk berkomunikasi dan
bersosialisasi. Ada aplikasi untuk
berkirim pesan (messenger), ada juga
aplikasi untuk bersosialisasi dan
berbagi banyak hal (Social Media).
Aplikasi-aplikasi ini tentunya sangat
mempermudah kita untuk
berkomunikasi dengan sesama. Zaman
Saya kecil dulu, mau ngobrol temen, saya
kudu dateng ke rumahnya. Itu pun
belum tentu orangnya ada di rumah.
Zaman sekarang, saya tinggal ngechat
aja pake aplikasi messenger. Atau
Saya bisa nyusul di mana teman saya lagi
nongkrong dengan petunjuk dari di
mana dia check in lokasi social
medianya. Bahkan, di zaman dulu saya
bisa hafal, jam sekian, temen-temen
pada nongkrong di mana. Mungkin
itu insting bawaan ikatan hati kali ye.
:D
Sayangnya, kemudahan-kemudahan
yang ditawarkan aplikasi ini malah
menciptakan efek candu kepada
penggunanya. Karena untuk ngobrol
sudah nggak perlu ketemu lagi,
akhirnya para pengguna aplikasi yang
udah kecanduan malah cenderung
males ketemu. Gara-gara kebiasaan
semacam ini, sebagian orang malah
lebih sering menunjukkan simpati
dibandingkan empati. Padahal, buat
Saya, empati itu lebih penting daripada
simpati, karena empati itu efeknya
lebih terasa.

Eh.. Empati dan Simpati itu bedanya
apa sih?

Simpati: Hape kamu rusak? Sabar ya.
Empati: Hape kamu rusak? Tenang, kamu
boleh make punya aku kalo lagi butuh.
Atau,
Simpati: kamu lagi patah hati? Yang kuat
ya.
Empati: kamu lagi gag punya duit? Tenang, kamu
boleh make duit aku kalo lagi butuh.

Udah paham?

Jadi, zaman saya sekolah dulu, kalo ada
teman sekelas yang sakit, saya dan
teman-teman pada patungan buat beli
buah, terus jengukin anaknya rame-
rame. Tapi di zaman serba internet
ini, sebagian orang lebih milih buat
ngetik "GWS ya!" dibandingin
ngejenguk di rumahnya. Zaman belum
ada internet, ada teman ulang tahun
kita bisa inget dan bawain kue ke
rumahnya. Tapi di zaman sekarang,
sebagian orang baru inget ultah teman
karena diingetin facebook dan
ngucapinnya cuma via social media
dengan ucapan "HBD WYATB!".
Secara tidak langsung, semua
perbuatan simpati tanpa empati itu
membuat ikatan sosial antara manusia
semakin melemah. Tidak ada ikatan
hati yang benar-benar kuat karena
tidak banyak lagi perbuatan yang bisa
dikenang. Secara, semuanya sudah
terwakili oleh teks dan gambar doang.
Apalagi untuk orang-orang yang
benar-benar sudah kecanduan sama
internet, mereka bakal berlomba-
lomba untuk jadi eksis. Eksis dalam
arti punya banyak orang yang dikenal,
bukan punya banyak teman yang
benar-benar teman. Mereka
menargetkan pertemanan mereka
bukan dari kualitas pertemanan, tapi
kuantitas/jumlah teman. Kalo udah
gitu, endingnya dia bakal punyak
banyak teman, tapi sedikit yang
benar-benar bisa memberi kepedulian
yang nyata. Kalo udah gini, bukannya
dia tetap kesepian?
Saya, sebagai orang yang masih
mencoba untuk mengimbangkan antara
kehidupan sosial di dunia nyata dan di
internet, kadang merasa kesal dengan
ulah teman-teman yang terlalu
kecanduan dengan sosial media. Paling
sebal di saat kita janjian untuk
ketemuan dengan harapan di sana saya
bisa dengerin ketawa yang ada
suaranya, bukan cuma emoticon
semata. Tapi pada prakteknya, teman-
teman saya malah pada nunduk,
megangin gadget, senyum-senyum,
dan meja kami hening. Misalpun saya
nanyain tentang sesuatu buat buka
topik obrolan, pertanyaan saya bakal
dijawab satu menit atau dua menit
kemudian setelah mereka kelar
menjawab chat atau komen orang di
social medianya. Don't you know it
sucks when you realize no one cares
when you're really there, and they get
busy with someones who are not
there?
Saya khawatir, kalo sampai kehidupan
sosial bergeser ke arah digital semua,
kelak misal kita nikahin anak-anak
kita, nggak ada tamu yang dateng,
tapi cuma ucapan "Semoga langgeng
ya!" di social media, dan sumbangan
kondangannya ditransfer semua. Atau,
kalo kelak kita meninggal, nggak ada
yang ngelayat, tapi cuma ada ucapan
"Turut berduka cita" di social media.
ORANG YANG UDAH MENINGGAL NGGAK
BISA MAIN SOCIAL MEDIA, KALI!!
So, dengan menulis postingan ini saya
berharap, bukan memaksa, teman-
teman mau menyeimbangkan kehidupan
sosial di internet dan di kehidupan
sosial di dunia nyata. Agar tercipta
ikatan emosional yang nyata juga di
sana. Kita imbangkan kembali fungsi
pertemanan kita sebagai media untuk
berbagi kebahagiaan dan kesedihan
secara nyata. Saat teman sedih,
jangan cuma dikasih emoticon peluk
aja, tapi datengin, peluk dan usap
matanya. Saya yakin, cara itu lebih
efektif untuk mengurangi
kesedihannya.
Di zaman serba internet ini, semua
orang bisa bilang peduli, sayang,
cinta, tapi cuma sedikit orang yang
bisa nunjukin itu semua dengan
perbuatan nyata..