Selasa, 13 Januari 2015

Who Knows, Who The Hell Knows…

Si Ibu tampak kerepotan menggendong
anaknya melewati lorong sempit kabin
pesawat khas kelas ekonomi. Belum lagi dua
tas berukuran sedang yang menambah
bebannya. Tempat duduknya tampaknya
masih jauh.
Benar saja, salah satu tasnya terjatuh.
Isinya, beberapa bungkus makanan kecil,
berserakan di lantai. Penumpang di
belakangnya, seorang pria paruh baya,
dengan sigap memungutinya,
memasukkannya kembali ke tas. “Biar saya
yang bawa,” katanya. Saya yang berada
beberapa meter di belakang mereka, merasa
tersentuh dengan kebaikan si Bapak.
Ternyata si Bapak duduk di sebelah saya. Dia
di sebelah gang. Persis di seberangnya,
duduk si Ibu serta anaknya, berusia kira-
kira 2 atau 3 tahun.
Masalah lain muncul. Begitu lampu di kabin
dipadamkan, prosedur resmi menjelang lepas
landas, anak perempuan itu mulai menangis,
makin lama makin menjadi. Semua upaya
ibunya untuk membujuknya gagal, termasuk
dengan menawarkan makanan ringan yang
sempat terjatuh tadi.
Begitu lampu kembali menyala, dan tanda
mengenakan sabuk pengaman sudah
dipadamkan, Si Bapak di sebelah saya
kemudian berdiri, membuka bagasi kabin,
mengambil tas tangannya, dan
mengeluarkan sebuah bungkusan. Setelah
duduk, dia membukanya. Sebuah boneka
Masha, dengan baju warna merah jambu,
dan tudung kepala berwarna senada.
“Coba kasih ini, Bu, siapa tau dia suka,”
katanya sembari menyodorkan boneka itu.
“Gak usah, Pak,” si Ibu menolak dengan
sopan.
“Gak apa-apa. Kasih aja.”
Dengan kikuk si Ibu menerima boneka itu,
dan begitu diberikan kepada anaknya, bukan
saja tangisannya langsung berhenti, tetapi
dia juga langsung tersenyum, seolah
raungannya barusan cuma sebuah drama.
“Yaudah, biar buat dia aja. Mestinya itu
oleh-oleh untuk cucu saya. Kira-kira seusia
dia juga,” kata si Bapak.
Si Ibu makin tak tahu harus bicara apa.
“Gak apa-apa, nanti saya bisa beli lagi. Lagi
banyak yang jual tuh boneka. Lagi musim,”
katanya meyakinkan.
Saya pun tak bisa menahan diri untuk tidak
memuji lelaki hebat itu.
“Bapak baik sekali.” Standar. Aku tak bisa
menemukan kata-kata lain untuk
menyatakan kekaguman.
Bapak itu tersenyum. “Pada dasarnya semua
orang baik,” katanya.
“Benar, Pak. Pada dasarnya. Tapi Bapak
juga pada praktiknya.”
Dia tertawa kecil. “Terima kasih…”
Benar-benar sebuah reaksi yang pas. Dia
tidak pura-pura merendah, dengan
menyatakan itu bukan apa-apa, tetapi juga
tidak senang berlebihan.
Setelah sempat terdiam beberapa lama,
Bapak itu bicara lagi. “Saya cuma berpikir,
siapa tahu ini adalah kesempatan terakhir
saya untuk berbuat baik…”
Faaaakkkk!! Perasaanku campur aduk. Antara
mengamini ucapan si Bapak dan menjadi
sedikit gelisah bahkan parno. Tak sadar aku
kembali mengenakan sabuk pengaman yang
tadi sudah kulepas.
Si Bapak seolah bisa mengeja kecamuk
pikiranku.
“Tidak saja karena kita saat ini sedang
berada di dalam pesawat loh. Setiap saat,
seaman apapun kelihatannya, bisa saja
menjadi kesempatan terakhir kita untuk
berbuat baik. Kan gak ada yang tau?”
katanya.
Sekali lagi Anda benar, Pak.
Who knows. Who
the hell knows…

*Kisah kecil ini terjadi, saat saya dalam
sebuah penerbangan Padang-Bandung,
beberapa tahun lalu.

#DSN #repost

Tidak ada komentar:

Posting Komentar